Konflik
Aceh
Aceh
telah mengalami konflik berkepanjangan. Mulai dari masa melawan penjajahan era belanda.
Aceh dengan gigihnya tetap memperjuangkan dan melindungi daerahnya dari
penjajahan. Dengan strategi geriliyanya aceh mampu mengalahkan belanda dan mengusir
belanda, tetapi tidak sedikit juga pahlawan-pahlawan aceh yang nyawa telah
gugur syahid di medan perang. Banyak bantuan yang telah Aceh berikan untuk
membantu Indonesia memperoleh
kemerdekaan.
Tapi,
setelah Indonesia merdeka, Aceh merasa dikhianati dan menuntut untuk pisah dari
Indonesia dan lahirnya sebuah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1947.
Konflik yang berkepanjangan menyebabkan banyak kerugian baik materil maupun
nyawa yang tak berslah berguguran serta menyisakan trauma bagi anak-anak korban
dan masyarakat yang masih hidup.
Pemberlakuan
Operasi Militer yang dilakukan oleh TNI di Aceh pada tahun 2003-2004 oleh
Presiden Megawati Soekarno Putri, merupakan puncak konflik dimana banyak
masyarakat yang menjadi korban, mulai dari pembantaian, penyiksaan, pemerkosaan,
korban salah tangkap, hingga pembunuhan. Selanjutnya dengan adanya bencana Tsunami yang melanda Aceh diakhir
tahun 2004 mnyebabkan ribuan nyawa meninggal dan hilang serta mengakibatkan
ribuan rumah dan bangunan diaceh rusak. Merujuk dari data BNPB, 173.741 Jiwa
meninggal dan 116.368 orang dinyatakan hilang. Musibah yang terjadi di Aceh ini
membuat seluruh mata dunia melihat Aceh dan memberikan bantuannya kepada Aceh.
Bencana
Tsunami sepertinya merupakan cara Allah untuk mendamaikan Aceh dan Indonesia. Akhirnya
dengan berbagai pertemuan atau perundingan dengan mengirimkan masing-masing
juru rundingnya yang dilakukan oleh kedua belah pihak dan akhirnya pada tahun 2005
terjadi kesepakatan damai antara Aceh dan Indonesia di Helsinki yang lebih
dikenal dengan nama “MoU Helsinki”. Perjanjian damai ini telah memberikan
sebuah kewenangan bagi Aceh untuk mengatur daerahnya sendiri secara khusus. Kewenangan
ini dikenal dengan istilah Otonomi Khusus.
KKR
Sudah
11 tahun Aceh mulai bangkit dari perjalanan konflik yang sangat panjang. Tentu banyak
masyarakat yang telah menjadi korban dan saksi pahit dari sejarah konflik di
Aceh. Ada berbagai peristiwa sejarah kejahatan konflik yang belum ditegakkan
keadilannya. Untuk itu diperlukan sebuah
komisi khusus untuk membuktikkan kebenaran terhadap peristiwa-peristiwa tersebut.
Kehadiran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh memang sudah sangat
ditunggu-tunggu kehadirannya. Bukan bermaksud untuk membuka luka lama dan
mengganggu stabilitas perdamaian yang sudah berjalan selama 11 tahun ini. Tetapi
kehadirannya untuk memberikan keadilan bagi korban konflik dan mengembalikan
nama baiknya oleh negara.
Beberapa
waktu silam telah dilakukan berbagai uji Fit
and Proper Test untuk kelayakan calon anggota Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) Aceh oleh DPR Aceh. Dalam berita acara dari komisi I DPR
Aceh dengan nomor 0168/BA/KOM-I/DPRA/2016 telah ditetapkan nama-nama yang akan
melaksanakan tugas mulia tersebut. Diantaranya : (1) Fajran Zain, (2) Afridal
Darmi, (3) Muhammad MTA, (4) Mastthur Yahya, SH, M.Hum, (5) Fuadi, S.Hi, MH, (6)
Evi Narti Zain, SE, (7) Ainal Mardhiah, S.TP dan yang lainnya ditetapkan
sebagai anggota komisioner cadangan adalah : (1) Norma Susanti RM, (2) Muhammad
Daud Berueh, SH, (3) Mohd. Jully Fuadi , (4) Syarifah, SP, (5) H. Hamdan Nurdin, S.Sos, (6) Zulchaidir Ardiwijaya, S.IP, dan (7) Muhammad
Ramadhan, SH.
Semoga
dengan terpilihnya anggota KKR yang baru saja dilantik dapat menjalankan amanah
yang dititipkan untuk mengungkapkan kebenaran dan keadilan di Aceh. Ada hal yang perlu dipahami bagi anggota
terlantik bahwa memaafkan tapi tidak melupakan adalah hal yang harus dasar bagi
upaya pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi. Harapan untuk keadilan harus
ditegakkan bukan hanya dengan tujuan untuk mempertanggungjawabkan kesalahan,
membangun kembali moral dan integritas diri sebagai manusia yang telah
dinistakan, tetapi juga adalah mengobati “luka-luka dan memperbaiki kerusakan
privat dan publik yang telah dilakukan oleh pelaku terhadap korban. Harapan itu
agarnya menjadi fondasi dalam mewujudkan kebenaran dan keadilan yang subtantif.
Samsidar
yang seorang peneliti ICTJ dan pernah menjadi Komisioner Komnas Perempuan dalam
buku Demi Kebenaran dan Keadilan diAceh yang disusun oleh Koalisi Pengungkapan
Kebenaran Aceh pada Tahun 2008 mengatakan bahwa Pelanggaran HAM masa lalu harus
menjadi sebuah catatan yang ditulis dalam sejarah, bukan dilupakan . Sejarah
itu ditulis sebagai tanggung jawab moral, politik dan nurari agar kekejaman dan
pengalaman yang merendahkan dan mengingkari martabat kemanusiaan itu tidak
terulang lagi. Tidak juga sejarah itu dikuburkan sebagai dendam yang dijadikan
modal untuk pembalasan karena penderitaan komunitas yang tidak terpulihkan
adalah saham untuk membangkitkan konflik dimasa yang akan datang. Ingatan masa
lalu tentang sebuah kekejaman dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah sesatu
yang tidak bisa ditawar tawar lagi.
Oleh
karena itu, pengungkapan kebenaran dari pelanggaran-pelanggaran HAM semasa
konflik di Aceh dan adanya pengakuan dan pencatatan dari Negara agar kedepannya
sangat perlu dilakukan agar kedepannya tidak terjadi pelanggaran HAM yang sama.
Dan diharapkan korban-korban konflik yang belum mendapatkan hak-haknya, seperti
hak atas keadilan, hak kebenaran, hak atas pemulihan, dan hak tidak
keberulangan agar bisa sepeuhnya mendapatkan resparasi serta pengembalian nama
atau harga dirinya oleh Negara. Mengingat selama konflik banyaknya tragedi-tragedi
yang di aceh seperi pembunuhan, pemerkosaan,
penculikan/penghilangan paksa, seperti tragedy Simpang KKA Rumoh Gedong, Arakundo,
Jambo Kepok, dan lain-lainya. Sehingga dengan kehadirannya KKR tidak akan
memutuskan pengadilan hak asasi manusia yang sedang berlangsung, tetapi sebagai
salah satu alternative untuk penenggakkan pelanggaran-pelanggaran HAM yang ada
di Aceh.
Sebagai
generasi muda, yuk mari jangan kita lupakan sejarah, karena bangsa yang maju
adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya.
Comments
Post a Comment